PERANTARA/MAKELAR
A.
PENGERTIAN
Makelar menurut bahasa arab ialah perantara perdagangan (orang yang
menjual barang atau yang mencarikan
pembeli). Dalam prsoalan ini kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar
(perantara), atau biro jasa mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari
hasil pekerjan. Demikian juga orang yang membutuhkan mereka, mendapat
kemudahan, kerena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya.
B.
DASAR HUKUM
MAKELAR
1.
Adat-itiadat,
yaitu imbalannya 2,5% dar nilai transaksi. Hal ini dibenarkan oleh syariat
islam. “adat kebiasaan itu, diakui sebagai sumber hukum”.
Makelar hendaknya berlaku jujur dan ikhlas menangani tugas yang
dipercayakan kepadanya. Apabila sudah ditanda tangani, maka semua pihak harus
menepati, tidak boleh mungkir janji,sebagaimana firman allah yang artinya:
2.
“hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...(al-Maidah : 1)
3.
“... dan
penuhilah janji,sesungguhnya janji itu pasti dimintai
pertanggungjawabannya”(al-Isra’ : 34)
Akad yang dimaksud adalah janji prasetia hamba kepada allah dan
perjanjian yang dibuat manusia dalam setiap pergaulannya. Menurut ibnu abbas,
makelar dibenarkan seperti kata beliau :
“juallah pakaian ini, sekiranya lebih dari sekian, maka untuk
anda”.
Jadi, agama islam dapat membenarkan pekerjaan sebagai makelar
selama tidak menyalahi ketentuan nash
al-Qur’an dan sunnah serta ada unsur tolong-menolong dan saling mendapat
manfaat.
Al BAI’ ( JUAL-BELI )
A. Pengertian Jual-Beli
Jual-Beli (albaingu) artinya
menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain).Kata
al-baingu dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya,
yaitu kata: as-siraau (beli). Dengan demikian kata : al-baingu berarti kata
“jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.
Sedangkan
secera istilah jual-beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau
barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang
satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian
atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati. Sesuai dengan
ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan,
rukun-rukun,dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual-beli sehingga
bila syarat –syarat dan rukunnya tidak
terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak Syara’.
B.
Hukum Jual Beli
Para
Ulama fiqih mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual beli itu hukumnya mubah
(boleh). Namun menurut Imam asy-Syatibi(ahli fiqih Mazhab Imam Maliki, hukumnya
bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu.
C.
Rukun dan Syarat Jual-Beli
Agar perjanjian/akad jual-beli yang
dibuat oleh para pihak mempunyai daya ikat, maka perjanjian tersebut harus
memenuhi syarat dan rukunnya.
Menurut Jumhur Ulama rukun jual- beli
itu ada empat :
1. Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2. Sighat (lafal ijab dan Kabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Menurut Jumhur Ulama, bahwa syarat jual-beli sesuai
dengan rukun jual-beli yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut.
a. Syarat orang yang berakad
·
Berakal.
·
Orang
yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda.
b. Syarat yang terkait dengan ijab dan
Kabul
·
Orang
yang mengucapkannya telah akil baligh dan berakal (Jumhur Ulama ) atau telah
berakal (Ulama Mazhab Hanafi),
·
Kabul
sesuai dengan ijab.
·
Ijab
dan Kabul dilakukan dalam satu majlis.
c.
Syarat
yang diperjual-belikan
·
Barang
itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk menggandakan barang itu,
·
Dapat
dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
·
Milik
seseorang.
·
Dapat
diserahkan pada saat akad berlangsung, atua pada waktu yang telah disepakati
bersama ketika akad berlangsung.
d.
Syarat
nilai tukar (harga barang)
Ulama
fiqih mengemukakan syarat as-tsamn,sebagai berikut:
·
Harga
yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
·
Dapat
diserahkan pada saat waktu akad (transaksi), sekalipun secara hukum seperti
pembayaran dengan cek atau kartu kredit.
·
Apabila
jual beli itu dilakukan secara barter maka barang yang dijadikan nilai tukar,
bukan barang yang diharamkan syara’seperti babi dan khamar karena kedua jenis
benda itu tidak bernilai dalam pandangan syara’.
D. Macam-macam
Jual-Beli
Ditinjau
dari segi benda yang dijadikan objek jual-beli
dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga
bentuk.
1. Jual-beli
benda yang kelihatan
2. Jual-beli
yang disebutkan sifat-sifatnya
3. Jual beli benda yang
tidak ada
Jual-beli
yang dilarang dan hukumnya adalah sebagai berikut :
a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama.
b. Jual-beli
sperma(mani) hewan.
c. Jual-beli
anak binatang yang masih berada dalam perut induknya
d. Jual-beli
dengan muhaqallah.
e. Jual-beli
dengan munabbadzah
E.
Khiyar Dalam Jual-Beli
Dalam
jual beli, menurut agama islam dibolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual
beli atau akan membatalkannya.
. Karena terjadi oleh sesuatu hal, khiar dibagi menjadi tiga
macam yaitu:
·
Khiar
majelis,
·
Khiar
syarat,
·
Khiar
aib.
F.
Unsur Kelalain Dalam Jual-Beli
·
Barang
yang dijual itu, bukan milik penjual (barang titipan, jaminan hutang ditangan
penjual, barang curian).
·
Sesai
perjanjian, barang tersebut harus diserahkan pembeli pada waktu tertentu,
tetapi ternyata barang tidak diantarkan dan tidak tepat waktu.
·
Barang
tersebut rusak sebelum sampai ke tangan pembeli.
·
Barang
tersebut tidak sesuai dengan contoh yang telah disepakati
KAFALAH
A. Pengertian
Al-Kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman(jaminan),
hamalah(beban) dan za’amah(tangguhan). Sedangkan menurut
istilah Al-Kafalah manurut mahzab Syafi’i adalah akad yang menetapkan
iltizam hak yang tetap pada tanggungan(beban) yang lain atau menghadirkan zat
benda yang dibebankan atau menghadirkan badan oleh orang yang berhak
menghadirkannya.
B. Dasar Hukum Al-Kafalah
Al-Kafalah Disyariatkanoleh Allah Swt. Dalam salah satu firmannya :
Ya’kub berkata : Aku tidak akan membiarkannya pergi
bersamamu, sebelum kau memberi janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu
pasti membawanya kembali kepadaku.(yusuf :66)
Dalam salah satu hadits Rasulullah Saw bersabda:
“ Pinjaman hendaklah dikembalikan dan menjamin hendaklah
membayar.” (H.R Abu Dawud)
C. Rukun dan Syarat al-Kafalah
1.
Idhamin, kafil, atau
za’im (orang yang menjamin) dengan syarat baligh, berakal, tidak dicegah
membelanjakan hartanya(mahjur) dan dilakukan dengan kehendak sendiri.
2.
Madmun lah(orang
yang berpiutang) dengan syarat dikenal penjamin.
3.
Madmun ‘anhu atau makful
bih (orang yang berpiutang)
4.
Madmun bih (utang,
barang, atau orang)
5.
Lafadz,(menjamin, tidak
bebrgantung pada sesuatu)
D. Macam-macam al-Kafalah
Secara
umum dibagi menjadi dua:
1.
Kafalah dengan jiwa(kafalah
bi al wajhi), yaitu adanya kemestian pada pihak penjamin untuk menghadirkan
orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (makfullah).
2.
Kafalah harta yaitu kewajiban
yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaranberupa harta.
E. Pelaksanaan al-Kafalah
Al-Kafalah
dapat dilaksanakan dengan tiga bentuk yaitu:
1.
Munjaz (tanjiz), yaitu
tanggungan yang ditunaikan seketika.
2.
Mu’allaq(ta’liq), yaitu
menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu.
3.
Mu’aqqat(tauqit) yaitu
tangguangan yang harus dibayar dengan diakitkan pada sesuatu. Syah menurut
hambali, batal menurut syafi’i.
F. Pembayaran Dhamin
Menurut Syafi’iyah dan Abu Hanifah bahwa membayar hutang
orang yang dijamin tanpa izin darinya adalah sunah, Dhamin tidak punya hak
untuk minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin(madhmun ‘anhu).
Menurut Mahzab Maliki, dhamin berhak
menagih kembali kepada madhmun “anhu.
KELUARGA
BERENCANA
A.
Penertian
Keluarga
adalah suatu kesatuan sosial kecil dalam masyarakat yang diikat oleh tali
perkawinan yang sah, Sedangkan keluarga berencana adalah suatu ikhtiar atau
usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga serta tidak melawan
negara dan hukum moral pancasilademi mendapatkan kesejahteraan keluarga
kususnya dan kesejahteraan bangsa pada umumnya.
B.
Alat kontrasepsi
Alat
kontrasepsi adalah alat untuk mencegah kehamilan. Ditinjau dari segi fungsinya
ada tiga macam:
Cara
kontrasepsi sederhana:
1.
Mencegah terjadinya
ovulasi;
2.
Melumpuhkan sperma;
3.
Menghalangi sel telur
dengan sperma.
Dari segi metode ada dua bagian besar,
yaitu:
1.
Tanpa alat atau
obat(tradisional): a) Senggama terputus, b) Pantang berkala
2.
Menggunakan alat atau obat,
yaitu: a) Kondom, b) Diafragma atau cap, c) Cream,jalli dan cairan berbusa, d) Tablet
berbusa.
Kontrasepsi dengan metode efektif:
1.
Tidak permanen: a) pil, b)
IUD, c) suntikan.
2.
Permanen: a) tubektomi
(sterilisasi untuk wanita), b) vasektomi (sterilisasi untuk pria).
3.
Cara lainnya seperti: a)
abortus, b) induksi haid.
C.
Pendapat Ulama
tentang sterilisasi
Beberapa
Ulama pendapatnya tidak jauh berbeda dengan pendapat Abu al-‘Ala al-Maturidi
yand dikutipoleh kafrawi dalam bukunya “KB: ditinjau dari segi Agama-agama
Besar Dunia”mengatakan bahwa agama islam adalah agama yang berjalan sesuai
dengan fitrah manusia. Barang siapa yang mencoba mengubah perbuatan Tuhan dan
menyalahi undang-undang adalah mengikuti perbuatan setan, sedangkan setan
adalah musuh manusia. Melahirkan dan
berketurunan merupakan sebagian fitrah manusia, menurut pandangan islam dan
merupakan salah satu tujuan perkawinan, yakni mengekalkan adanya jenis manusia yang hidup dengan
peradaban yang sesuai dengan syari’at. Maka sterilisasi menentang fitrah dan
kehendak Allah.
Jelas
sekali bahwa sterilisasi hukumnya haram, maka metode ini tidak dimasukkan dalam
kebijakan Pemerintah walaupun itu hanya bersifat atas pertimbangan medis,
sebagaimana ditegaskan oleh hasil
keputusan Musyawarah Nasional Ulama, tanggal 17 Oktober 1983 di Jakarta, bahwa
melakukan vasektomi dan tubektomi bertentangan dengan ajaran islam, kecuali dam
keadaan darurat.
D.
IUD
IUD
yang tidak boleh dikubur bersama dengan mayat menurut agama islam adalah
benda-benda berharga yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang masih hidup
atau ahli warisnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh Abu Dawud dan Ali bin
Abi thalib r.a bahwa Rasulullah bersabda: “janganlah berlebih-lebihan memilih
kain kafan, karena sesungguhnya kafan itu akan hancur dengan segera”.
MUSAQOH
A.
Pengrtian
Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seorang bekerja pada pohon tamar,
anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon lainnya supaya mendatangkan
kemaslahatan dan mendapat bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai
imbalan.
Menurut istilah, al-musaqah
didefinisikan oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh
Abdurrahman Al-Jaziri,
sebagai berikut:
1.
“Akad
untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan
syarat-syarat tertentu.”(Abdurrahman al-jaziri).
2.
“Sesuatu
yang tumbuh ditanah.”(Malikiyah).
3.
Memberikan
pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain utuk
kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan memperoleh
bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.”(Syafi’iyah).
4.
Menurut Hanabilah Al-musaqah mencakup dua masalah yaitu:
·
Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, baginya ada buah yang
dimakan sebagai sebagian tertentu atau setengah bagian tertentu dari buahnya.
·
Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, dan pohon tersebut belum ditanamkan(munashabahmugharasah
).
Kesimpulannya Al-musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk
memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.
B.
Dasar Hukum
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dan Ibnu Amr r.a, bahwa rosulullah Saw. Bersabda: “memberikan tanah Khaibar
dengan separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman).
Pada riwayat lain dinyatakan Rosul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi,
untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.”
C.
Rukun dan syarat Musaqah
1.
Shigat dengan lafat dengan lafazd dan tidak cukup denga perbuatan saja.
2.
Pihak yang berakad, disyaratkan mampu untuk mengelola akad, seperti baligh,
berakal, dan tidak berada dibawah pengampuan.
3.
Semua pohon yang berbuah.
4.
Masa kerja yang ditentukan.
5.
Buah, ditetukan bagiannya.
Musaqah diperbolehkan untuk semua pohon yang
buahnya dapat dimakan(mahzab hambali). Sedangkan tugas penggarap menurut imam Nawawi adalah mengerjakan apa
saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaanya untuk mendapatkan
buah. Apabila penggarap tidak mampu bekerja maka menurut syafi’i musaqah batal.
D.
Wafat salah seorang ‘Aqid
Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan
bekerja sebelum berakhirnya waktu akad, mereka tidak boleh dipaksa. Hak berada
pada pemilik atau ahli warisnya sehingga dalam keadaan seperti ini dapat
dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Memetik buah dan dibagi menjadi dua bagian sesuai kesepakatan kedua belah
pihak.
2.
Memberikan sejumlah uang kepada penggarap atau ahli warisnya karena dialah
yang berhak memotong atau memetik.
3.
Pembiayaan pohon sampai buahnya matang, kemudian hal ini dipotong dari
bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya atau nilai harganya.
PEMBERIAN
A.
Pengertian
Pemberian secara bahasa
arab adalah al-hibah, secara bahasa dari hubub al-rih, yaitu:
1.
Perlewatannya
untuk melewatkannya dari tangan kepada yang lain.
2.
Al-hibah
diiartikan istaiqazha karena “preilaku hibah bangkit untuk berbuwt kebeikan
setelah ia lupaakan kebaikan.
Secara istilah ialah:
1.
Pemilikan
yang sunnat ketika hidup.
2.
Pemilikan
yang munjiz (selesei) dan mutlak pada sesuatu benda ketika hidup tanpa
penggantian meskipun dari yang lebih tinggi.
B.
Macam-macam
Hibah
1.
Al-hibah,
yakni pemberian sesuatu pada yang lainuntuk dimiliki
zatnya tanpa mengharapkan penggangantian (balasan) atau dijelaskan oleh imam
taqiy al-Din Abi Bakr Ibnu Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayat al-Akhyar,
bahwa Al-hibah ialah “pemilikan tanpa penggantian.”
2.
Shadaqah,
yakni pemberian zat benda dari seseorang kepada
yang lain tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin memperoleh
ganjaran dari allah yang Maha Kuasa.
3.
Washiat, pemberian seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika hidup
dan diberikan setelshg yang mewasiatkan meninggal dunia.
4.
Hadiah,
pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa
adanya penggantian dengan maksud memuliakan.
C.
Dasar
Hukum pemberian
Ayat-ayat Al-qur’an maupun
Al-hadis banyak yang mnganjurkan penganutnya untuk berbuat baik sengan cara
tolong menolong antara lain:
1.
…dan
tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa…(Al-maidah:2).
2.
Dalam satu
hadis yang dir5iwayatkan Imam bukhori dan abu dawud dari aisyah r.a. ia
berkata: “pernah Nabi Saw. Menerima hadiah dan balasan hadiah itu.”
3.
Hadiah itu
tidak boleh ditolak. Menurut hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan tirmidzi
dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Kalau aku diundang untuk
menyantap kaki kambing depan dan belakang , niscaya aku penuhi dan kalau
dihadiahkan kepadaku kaki kambing depan dan kaki kambing belakang niscaya aku akan menerimanya.”
D.
Mencabut
Pemberian
Pada dasarnya mencabut
pemberian itu haram hukumnya. Karena dianggap sebagai perbuatan yang sangat
buruk sekali. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Mutafaq Alaih dan Ibnu
Abbasr r.a Rasulullah Saw. Bersabda: “Orang meminta kembali benda-benda yang
diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya
itu.”
Dalam riwayat lain dari
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a dari Rasulullah
Saw. Bersabda: “Haram bagi seseorang Muslim member sesuatu kepada orang lain
kemudian memintanya kembali, kecuali pembayaran ayah kepada anaknya.”
E.
Pemberian
Bersyarat
Pada hakikatnya pemberian
itu tidak boleh mengharap balasannya dalam bentuk apapun, tetapi boleh juga
dilakukan dengan persyaratan, dalam salah satu hadis dikatakan bahwa seorang
laki-laki memberikan sesuatu pada Rasulullah Saw dengan mengemukakan syarat
telebih dahulu, Jelasnya hadis tersebut dijelaskan oleh Imam Ahmad dan Ibnu hiban dari Ibnu
Abbas r.a ia berkata: “Seoran laki-laki memberikan kepada Rasulullah Saw.
Seekor unts betina, kemudian pemberian itu dibalas oleh Rasulullah Saw. Dan
bersabda; “Telah relakah engkau?”, laki-laki itu menjawab: “belum”, Rasulullah
Saw. Lalu menambahkan balasannya dan bersabda; Telah relakah engkau?”,
laki-laki itu menjawab: “belum”, kemudian ditambah kembali balasannya itu, lalu
beliau bersabda; “Telah relakah engkau?”, laki-laki itu menjawab; “Ya sudah!.”
F.
Pemberian
dengan ‘Umra dan Ruqbah
‘Umra artinya umur, dan ruqbah artinya mengintai. Pemberian ini
adalah perbuatan orang-orang arab sejak zaman jahiliah yang kemudian dilestarikan oleh agama islam.
Menurut sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu jabber r.a berkata: “Nabi Saw. Telah menghukum
dengan ‘umra, bahwa sesungguhnya ‘umra adalah milik orang yang diberinya.”
Sesungguhnya ‘umra yang dibolehkan oleh
Rasulullah Saw. Ialah Bahwa seseorang berkata; “barang ini adala pemberian bagi
engkau dan bagi ahli waris engkau”. Apabila ada yang berkata; “Pemberian itu
bagi engkau selama engkau hidup”, maka sesungguhnya pemberian itu kembali pada
yang punya (dikutip dari hadist riwayat Muslim dan Ibnu Jabir r.a).
Berdasarkan hadis yang
diiwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Nasai dari jabir r.a, Rasulullah Saw.
Bersabda:
“Janganlah kamu mengatakan
ruqbah dan jangan pula mengatakan ‘umra, maka sesuatu yang diruqbahkan atau
‘umrakan itu untuk ahli waris.” Berdasarkan hadis diatas secara harfiah tampak
ada pertentangan. Hal ini menunjukkan bahwa secara istilah itu sama antara
zaman jahiliah dengan zaman islam. Secara operasionalny berbeda antara zaman
jahiliah dengan zaman islam.
G.
Pemberian
dalam khitbah
Khitbah (tunangan), adalah
materi pembahasan yang termasuk dalam fiqh muamalah, yang pelaksanaanya
pemberian dari pihak laki-laki kepada
pihak wanita. Ada beberapa perbedaan pandanga tentang permasalahan diatas.
Benda-benda yang diberikan
oleh pihak laki-laki, Semisal cincin dll. kepada pihak wanita, jika ada masalah
atau gagal maka barang tersebut wajib dikembalikan seperti sebelumnya(mahzab
Syafi’i),
Benda-benda yang diberikan
oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, harus dikembalikan dengan keadaan
bagaimanapun barang tersebut, apabila acara tersebut gagal terlaksana, dan
pihak laki-laki tidak boleh meminta ganti rugi (mahzab Hanafi).
Apabila pembatalan dari pihak wanita maka
wajib dikembalikan dalam keadaan utuh kepada pihak laki-laki. Jika sebaliknya
jika pihak laki-laki yang membatalkan
maka pihak laki-laki tidak boleh memintanya(Mahzab Maliki).
Dalam riwayat lain,
apabila adatnya berbeda dengan ketentuan Malikiah maka yang diberlakukan adalah
adat (kebiasaan).
H.
Hikmah
Pemberian
1.
Dapat
menghilangkan penyakit dengki. Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a
Rosulullah Saw. Bersabda: “Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat
menghilangkan sakit hati (dengki).
2.
Mendatangkan
rasa saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi. Abu Ya’la telah meriwayatkan
hadis dari Abi Hurairah bahwa Nabi Saw. Bersabda: “Saling member hadiahlah
kamu, niscaya kamu akan saling mencintai.”
3.
Dapat
menghilangkan rasa dendam. Dari annas r.a Rasulullah Saw. Bersabda: “Saling
member hadiahlah kamu, karena sesungguhnya hadiah itu akan mencabut rasa
dendam.”
PEMINDAHAN
HUTANG (HIWALAH)
A.
Pengertian
Secara bahasa hiwalah
ialah al-intiqal dan al-tahwil artinya memindakan atau mengoperkan. Menurut
Abbdurrahman al-Jazuri, hiwalah secara bahasa ialah:
ا
”Pemindahan
dari dari satu tempat ke tempat lain.”
Menurut istilah
ada beberapa pendapat tentang hiwalah dalam mendefinisikannya,
antara lain:
1.
Menurut Hanafiah,
“Memindahkan tagihan dari tanggung
jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban
pula.”
2.
Muhammad Syata al-Dimyati,
“Akad yang menetapkan pemindahan utang
dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”
B.
Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut
Hanafiah, rukun hiwalah ialah ijab dan kabul yang dilakukan antara yang
menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut
Hanafiah ialah:
1.
Orang yang memindahkan utang (muhilf) adalah baligh dan berakal.
2.
Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah berakal.
3.
Orang yang dihiwalahkan (muhal ’alah) juga harus orang yang berakal
disyaratkan pula meridhainya.
4.
Adanya utang muhil kepada muhal ‘laih.
Menurut Syafi’iyah, rukun hiwalah ada
empat, yaitu:
1.
Muhil.
2.
Muhtal ialah orang yang mempunyai utang kepada Muhil
3.
Muhal ‘alaih.
4.
Shighat hiwalah, ijab dari muhil dan kabul dari muhtal.
Sementara itu, Syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq adalah
sebagai berikut:
1.
Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal ‘alaih.
2.
Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyeleseiannya, tempo
waktu, kualitas, dan kuantitasnya.
3.
Stabilnya muhal ‘alaih, (mampu).
4.
Hak tersebut diketahui secara jelas
C.
Beban muhil setelah Hiwalah
Menurut jumhur ulama, tanggung jawab
muhil akan gugur apabila hiwalah sah. Jika muhal’alaih mengalamikebangkrutan
atau membantah hiwalah, meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi
kepda muhil.
Menurut Maliki, bila muhil menipu
muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir,maka muhal boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman
berpendapat bahwa dalam keaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meningal
dunia maka muhal kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya kembali.
PERLOMBAAN
A. Pengertian
Perlombaan
dalam bahasa arab adalah musabaqoh , , termasuk olah raga terpuji, hukumnya berubah-ubah, tergantung
niatnya. Sebagaiman firman Allah Swt: “Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka dengan kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat (Al-Anfal: 60).
Dalam
sebuah Hadits diriwayakan oleh Imam bukhari bahwa siti “aisyah r.a berkata: “Aku
berlomba lari dengan Nabi Saw. Tetapi aku dapat mengejarnya. Ketika aku mulai
gemuk , akupun berlomba lari dengan beliau, tetapi beliau dapat mengejarku. Aku
berkata “Kemenangan ini adalah sebagai imbangan bagi kekalahan itu.”
Dalam
hadits dijelaskan oleh Rosulullah Saw. “Setiap permainan adalah haram,
kecuali tiga macam, permainan seorang laki-laki dengan istrinya, melemparkan
anak panah dari busurnya dan melatih kuda-kudanya”.
B. Pertaruhan
dalam perlombaan
Perlombaan dengan pertaruhan dibagi
menjadi dua bagian yaitu:
1. Pertaruhan yang
dihalalkan.
·
Dibolehkan mengambil harta dalam perlombaan apabila
hadiah itu datang dari penguasa atau yang lain.
·
Salah seorang dari dua orang, atau salah satu pihak
dari beberapa pihak yang berlomba yang mengeluarkan hadiah.
·
Hadiah boleh diambiapabila datang dua orang atau
beberapa pihak yang berlomba, sementara diantara mereka ada yang menang dan
berhak mendapatkannya dan tidak berhutang.
2. Pertaruhan
diharamkan ulama adalah pertaruhan yang apabila salah seorang pahak yang
bertaruh mendapatkan hadiah itu, sedangkan yang kalah dai berhutang kepada
temannya. Karena dianggap judi yang jelas-jelas diharamkan. Termasuk kategori
menganiaya binatang adalah mengadukan binatang. Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas r.a berkata : “Rasulullah Saw.
Melarang mengadu diantara binatang-binatang.
C. Jalab dan
janab dalam petaruh
Menurut sayyid Sabiq dalam buku fiqh
al-Sunnah bahwa Uwais berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jalab
adalah meneriaki seekor kuda dari belakang dalam arena perlombaan agar kuda itu
menang dalam perlombaannya. Maksudnya seseorang memperlombakan kudanya disertai
dengan orang yang meneriakinya agar larinya cepat. Sedangkan janab ialah
bila seekor kuda didatangkan oleh seseorang kepada kudanya yang sedang
dipelombakan untuk dinaikinya agar secepatnya ia mencapai tujuan.maksudnya
seseorang menyediakan seekor kuda lain bersama kuda yang diperlombakan,apabila
kuda yang dikendarai lelah, dia pindah kekuda yang telah disediakan itu.
D. Bermain Nard
Jumhur ulama berpendapat bahwa nard(sejenis
dadu) hukumnya adalah haram. Dalam sebuah Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Ahmad dan Abu Dawud dari buraidah r.a, dari Rasulullah Saw. Bersabda: “barang
siapa bermain nadr syir, maka
seolah-olah ia telah mencelupkan tangannya kedalam daging dan darah
babi.”
Dalam sebuah Hadits diriwayatkan oleh
Imam Muslim, Ahmad dan Abu Dawud, Ibnu Majah dan Malik dari Abi Musa r.a bahwa
Nabi Saw. Bersabda: “Barang siapa bermain Nadr, maka dia telah maksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya.”
E. Bermain Catur
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata “
Tidak ada hadits shahih atau hasan didalam pengharaman bermain catur.”
Orang-orang berpendapat bahwa hukum main catur itu boleh dengan syarat berikut.
1. Tidak melalaikan
kewajiban agama
2. Tidak dicampuri
dengan taruhan
3. Tidak muncul
ditengah permainan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Allah